Disepanjang jalan yang aku lalui dalam perjalanan hidup ini, aku melihat
dan merasakan akan banyak problematika kehidupan yang menyayat nurani.
Seperti sebuah goresan pedang yang menancap pada uluhati dan menimbulkan
luka yang dalam.
Seperti halnya kekerasan-kekerasan yang marak terjadi pada anak-anak
tidak berdosa, seperti yang di alami oleh seorang anak balita, bernama
Iqbal Saputera (3,5) yang menghiasi dan menjadi buah pembicaraan media
televisi. Iqbal adalah seorang anak yang menjadi korban dari kekerasan
dan kebiadaban manusia.
Dadang yang mengaku sebagai ayah tiri Iqbal selain menyiksa Iqbal, dia
juga menjual tenaga anak malang ini untuk bekerja membanting tulang
dijalan sebagai pengamen ataupun pengemis, dan ketika anak malang ini
sedikit dalam mendapatkan uang maka disanalah waktunya Dadang membabi
buta untuk memukul, dan menyiksa bocah malang ini tanpa memperdulikan
batas kemanusiaan sedikitpun.
Anehnya penyiksaan terhadap bocah malang tersebut dilakukan dengan
sengaja, dan dengan semakin banyak luka yang dialami oleh Iqbal, maka,
akan menimbulkan suatu rasa iba, atau kasihan bagi banyak orang. Dengan
begitu orang yang berlalu lalang untuk memberikan sebagian rezekinya
kepada Iqbal sebagai rasa kasihan. Sungguh tragis apa yang di alami oleh
bocah malang ini.
Mengapa, harus ada orang yang tega menyiksa anak-anak tidak berdosa demi
meraup sebuah rezeki? Apakah moral sebagian orang dimasa kini sudah
tergadaikan oleh sebuah materi? Menyikapi hal ini dapat saya katakan
bahwa, manusia memang harus mencari rezeki guna bekal perjalanan hidup
dikemudian hari, yakni dengan bekerja ataupun menjual hasil karya kita
yang mungkin bermanfaat bagi orang lain, tapi apakah harus melukai
orang, bahkan sampai memukul, menyiksa, dan lebih parahnya lagi ada yang
sampai tega, membunuh dan menjual anak-anak yang tidak berdosa demi
sebuah pundi-pundi rupiah? Apakah sudah tidak adalagi rezeki yang halal
tanpa harus membuat orang lain terluka bahkan sampai terinjak-injak?
Berkaca dari apa yang dirasakan bocah malang Iqbal, saya hanya menggaris
bawahi akan bagaimanakah peran dari kita sebagai orang tua, dan bukan
hanya sebagai orang tua melainkan sebagaimana seorang manusia?. Dengan
begitu tidak ada lagi anak-anak yang harus menjadi korban kekerasan
seperti yang dialami oleh Iqbal, dan seharusnya kita sebagai manusia
harus dapat berrkaca diri dalam mendidik dan membesarkan anak-anak kita
sebagaimana insan manusia dengan mencintai dan menyayanginya sepenuh
hati.
Iqbal adalah korban dari sebuah kekejaman dan kebiadaban seorang
manusia. pola pikir yang lemah, taraf pendidikan yang mungkin rendah,
serta kemiskinan melanda, selalu saja menjadi alasan klasik dalam
problematika kehidupan, tanpa pernah berkaca bahwa kemiskinan bukanlah
suatu faktor yang berpengaruh dalam segalanya karena kemiskinan juga
terjadi oleh adanya kesalahan dalam suatu sistem, dan pola pikir
individu karena dapat saya katakan bahwa beberapa orang miskin, banyak
yang masih bisa untuk mensyukuri segala nikmat yang Allah SWT berikan
bahkan ada diantara mereka dengan kesungguh-sungguhan berupaya
memperbaiki diri tanpa harus merugikan orang lain dan tanpa harus
mendzolimi orang lain. Dengan kesungguh-sungguhan sudah banyak
orang-orang yang berhasil memperbaikki taraf hidupnya menjadi lebih baik
bahkan menjadi orang yang sukses.
Rubah paradigma yang ada, dan jangan salahkan kemiskinan yang rasakan
melainkan pacu semangat hidup diri kita agar mendapatkan rezeki yang
lebih baik dari sebelum-sebelumnya dengan rasa syukur yang begitu dalam
dan dengan semangat juang yang berkualitas serta kejujuran dalam mencari
rezeki yang halal. Dalam hal ini yang paling penting adalah kejujuran
dan mensyukuri apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Ketika
sudah mendapatkan sebagian rezeki jangan pernah lupa untuk selalu
berbagi rezeki, dan berbagi ilmu dalam hal apapun baik materi maupun
dalam hal ilmu pengetahuan agar saudara-saudara kita dapat bangkit dan
dapat berkarya dengan kemampuan yang mereka miliki.
Percayalah bahwasannya disepanjang hidup manusia telah diberikan rezeki
yang tiada tergantikan sejak kita yang dari tiada menjadi ada oleh Allah
SWT. Mulai dari sebuah sperma yang menetes dalam rahim seorang ibu dan
tumbuh menjadi seorang manusia yang tumbuh dewasa dengan begitu kita
akan tersadarkan bahwa kita sebagai manusia terlahir ke dunia adalah
untuk menjadi seorang pemenang dikarenakan sejak proses terciptanya kita
sebagai manusia kita harus berlomba-lomba dengan berjuta-juta sel
manusia agar dilahirkan didunia melalui rahim seorang ibu, so, kenapa
kita harus menyerah karena kemiskinan. Percayalah bahwasannya Allah SWT
maha pemberi segala-galaNya
Agar dalam peristiwa yang serupa tidak terulang kembali, maka sudah
waktunya bagi kita untuk memulai dari yang terkecil yakni dengan cara
mencintai keluarga kita yang kita cintai dalam hal ini adalah diawali
oleh mencintai, dan menyayangi istri kita terlebih dahulu dengan
memberikan kehangatan jiwa, ketenangan, kebahagian sebagaimana bagian
dari hidup kita, bimbinglah istri kita menjadi bidadari surga dengan
memuliakan wanita dan sayangi sepenuh hati, sebagaimana ijab qabul atau
janji suci yang di ucapkan, bukannya harus menyakiti, membentak, bahkan
sampai memukul istri kita. Maka, untuk memuliakan seorang istri kita,
dan kitapun juga harus bisa memuliakan diri kita dengan cara memperkuat
iman kita dan meneguhkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan selalu
berdzikir dan berdoa kepadaNya.
Setelah kita memuliakan istri kita dan disaat kita mendapatkan anugerah
anak-anak yang luar biasa, darah daging kita, dengan selalu menyayangi
istri kita, kita coba untuk membagi rasa sayang kita kepada anak-anak
kita agar istri dan anak-anak kita dengan membimbing anak dan istri kita
agar menjadi istri soleha dan menjadi anak-anak yang soleh dan soleha.
Agar keluarga kita mendapatkan kemuliaan, rahmat, cinta dan kasih sayang
serta keridhaan Allah SWT tentunya didasari oleh ketaatan dan iman kita
kepada Allah SWT.
Setelah kita cintai anak dan istri kita, coba untuk lebih mencintai
keluarga kita dan setelah itu baru kita mencoba untuk peduli kepada
lingkungan masyarakat kita, dengan saling berbagi, saling menghargai,
saling menolong, saling bertoleransi, dan bersama-sama beribadah bersama
sesuai dengan kepercayaan masing-masing. So bukankah damai itu indah.
Dalam tulisan ini saya selaku penulis tidak bermaksud untuk mengajarkan
atau menggurui melainkan untuk berbagi ilmu dan saling mengingatkan agar
peristiwa yang menimpa bocah malang itu tidak terulang kembali menimpa
anak ataupun saudara-saudara kita. Jadikan semua yang telah terjadi
sebagai suatu pembelajaran bagi kita agar dapat menjadi lebih baik.
Salam perdamaian
Tegar Guccie
Dilema Anak Rimba
20 Maret 2014
No comments:
Post a Comment