Dialektika Sosial Anak Bangsa

Sebuah perjalanan panjang dalam untaian kata dalam jiwa, dedikasi yang tercipta untuk Sang Pencipta, yang terbaik dalam hidup dan untuk Negeriku Indonesia

Tuesday, March 25, 2014

Derap Langkah

Tidak ada satupun orang yang sanggup menjadi aku, aku yang diuji oleh begitu banyak ujian tapi kesederhanaanku selalu menjadikan diriku mampu berdiri tegak. Aku diuji dan terus diuji dengan segala problematika yang menerpa jiwaku, namun aku tetap tegak berdiri menjalani jalan setapak lika-liku kehidupan.

Dengan kesederhanaanku, dengan karyaku, dengan buah pikir dan kepedulianku kepada sesama tanpa pernah memandang siapa mereka, bagaimanakah latar belakang mereka, atau lainnya, aku terus melangkah tiada henti untuk mengorbankan jiwa raga dan jalan pikiranku untuk mereka

Mereka adalah barisan rakyat yang hidup dalam jerat kemiskinan, dan kesulitan hidup. Berjuang dan menempuh nurani dalam merajut asa demi memperjuangkan hidup, seperti halnya mereka yang menghabiskan waktunya di jalan dan mencari rezeki dengan kristalisasi keringat yang menetes membasahi tubuhnya, meski bahaya yang mungkin menerpa, meski uang yang mereka raih tidak seberapa, dan meski harus berbagi dengan majikan atau mandornya mereka tetap bersemangat berpanas-panasan di jalan demi mendapatkan sedikit rezeki sebagai penyambung hidup.

Aku berdiri diantara mereka, berbagi ilmu, bercerita, bercengkrama dengan mereka serta mendengarkan ungkapan hati mereka di dalam meniti jalan kehidupan. Sebagian mereka bercerita tentang kehidupan keluarganya dan sebagian mereka juga berdialektika berbicara soal kehidupan sosial serta problematika yang melanda negeri ini.

Dalam berdialektika meski mereka mengemban taraf pendidikan yang tidak tinggi dan jauh dari mereka yang sanggup mengemban pendidikan tinggi, pemikiran mereka jauh lebih baik bagi kenyataannya mereka yang mengemban pendidikan tinggi. Kenapa? Karena meskipun mereka hanya sanggup menempuh pendidikan dasar namun sebagian dari mereka mampu untuk berpikir lebih jauh daripada kita dan mampu membuktikan bahwasannya mereka memiliki wawasan yang luas, hanya saja kesempatan mereka untuk berkompetisi dibatasi oleh ijazah dari pendidikan yang mereka enyam.

Dalam rasio pemikiranku selalu terfikirkan tentang mereka, meski mereka hidup dalam keterbatasan namun mereka dapat menjalani kehidupan mereka dengan sebagaimana mestinya. Bahkan banyak diantara mereka selain mencari rezeki dari mengais sampah, diantara mereka juga rela meninggalkan keluarganya dikampung halaman demi mencari nafkah dikota-kota besar dengan tujuan mendapatkan penghidupan yang layak. Dan diantara merekapun banyak yang menangis apabila mengingat sanak saudaranya di kampung halaman, mereka menangis mengingat anak-anaknya yang masih kecil setelah mereka tinggalkan demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Dalam derap langkahku aku juga pernah berjuang dan membaur dengan rakyat semesta, aku berjuang bersama mereka yang menyampaikan suara menuntut akan terpenuhinya apa yang menjadi tuntutan mereka, dan yang menjadi tuntutan mereka antara lain "Tanah, Upah, Kerja" dalam hal ini yang perlu digaris bawahi adalah sebagian mereka menuntut penghidupan yang layak kepada pemerintah, mulai dari pemukiman atau tempat tinggal yang layak, lahan objektifitas pertanian, kenaikkan upah dan pengsejahteraan hidup, sampai kepada lapangan pekerjaan yang dapat mendompleng kesejahteraan rakyat.

Namun, sayangnya pada saat itu pemerintah hanya bisa bersikap apatis dengan para buruh, petani dan komponen rakyat semesta yang ikut serta di dalamnya. Tanpa pernah mau berdiskusi pemerintah hanya sanggup untuk diam, duduk diatas kursi jabatannya dan hanya sanggup untuk mengobral janji-janji palsu. Ketika dipertanyakan akan kinerja mereka hanya sanggup berwacana tanpa pernah membuktikan secara pasti atas apa yang telah mereka wujudkan sebagai pemimpin.

Ketika aku melanjutkan derap langkahku selanjutnya meskipun aku sibuk dengan orientasi pekerjaan, namun aku tetap memberikan sumbangsih pemikiran untuk kemajuan bersama sebagai wahana ilmu, maka, tidak dapat aku pungkiri bahwa sulit sekali bagiku untuk bersikap apatis terhadap mereka, pasalnya mereka telah memberikan banyak ilmu dan mengajarkan akan kehidupan.

Aku besar oleh mereka dan aku terbiasa untuk hidup berdampingan dengan mereka, dalam satu sisi mereka mungkin sekelompok orang yang terpinggirkan namun, sisi lain mereka adalah para guru dalam sebuah kehidupan sosial masyarakat.

Banyak orang yang salah mengartikan hidupku, ada yang mengatakan aku seorang yang jahat, brengsek atau lain sebagainya, tanpa pernah mereka tau bagaimana?, dan siapa aku yang sebenarnya?, kalau memang aku orang yang jahat, mungkin hingga saat ini aku sudah berada dalam lembaga tahanan, dan jika benar begitu saya siap untuk mempertanggung jawabkannya disel tahanan. So, biarkan saja mereka sebagai juri menilaiku bagaimana, hal yang terpenting adalah aku sebagai manusia harus tetap berpegang teguh terhadap prinsip hidupku untuk selalu peduli dengan mereka.

Karena kalau bukan saya yang mencoba dan memulai untuk peduli dengan mereka, siapa lagi yang akan mempedulikan nasib mereka dimasa kesombongan dan kebutaan seperti sekarang ini, dimana banyak orang yang menutup mata, hati, nurani dan telinganya. Banyak pula orang yang menari-nari dalam derita yang dialami sang rakyat, selain dengan memiskinkan dan merampas hak dengan mengenyampingkan apa yang menjadi Hak Asasi Manusia.

Pada dimensi waktu atau peradaban saat ini banyak orang seolah-olah bangga untuk berlomba-lomba meraih materi tanpa pernah peduli akan nasib mereka yang dilanda kesulitan, moral dan nilai-nilai sosialpun menjadi tidak ada arti karena sudah dimanjakan dan diperbudak oleh harta materi, jangankan mau peduli dengan sesamanya malah terkadang banyak di antara mereka karena sibuk akan mencari materi demi kehidupan dunia, banyak pula yang dilanda agresi nafsu syahwat (berzinah), dan menelantarkan anak istrinya.

Lucunya ada keluarga yang suami, istrinya selain sibuk akan mencari harta dengan tidak lazim, mereka juga sibuk untuk melakukan suatu perzinahan dengan banyak pria ataupun wanita, falsafah agamapun tergadaikan dan anak-anaknyapun kalau tidak terlantar, anak-anaknyapun juga terjerat dalam gelombang yang sama dibutakan oleh harta, dan dibutakan oleh nafsu.

Seperti itulah ironi yang banyak terjadi di dunia dewasa ini. Akupun hanya sanggup untuk berdiri menjadi saksi dari problematika yang melanda Negeriku Indonesia, dan ini baru berbicara soal Indonesia belum lagi bicara soal dunia yang tidak kalah menyentuhnya, selain banyak terjadinya pertikaian, juga banyak di dalamnya hal-hal yang tidak lazim untuk dibicarakan.

Sebelum banyak orang yang semakin salah dalam menilai, yaa seperti itulah diri saya. Yang peduli dengan kehidupan dunia, khususnya saudara-saudara saya yang dilanda akan banyak problematika kehidupan.

Tegar Guccie
Derap Langkah
24 Maret 2014

No comments:

Post a Comment